Jumat, 25 Mei 2012


Pengalaman Mistis di Gunung Watu (oleh: Akbar Wahana)

Sepintas lalu, perbukitan yang terletak di Desa Seseh, Kec. Gemawang, Kab. Temanggung, tak jauh beda dengan perbukitan daerah lainnya. Namun di balik semua itu, ternyata di lokasi perbukitan yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Gunung Watu ini, terdapat komunitas makhluk halus yang luar biasa dan sangat peduli dengan kelestarian lingkungan.
Pengalaman ini berawal pada bulan Februari 2004, ketika Misteri bersama rekan sebanyak sepuluh orang mengadakan touring ke Desa Seseh. Selain kami sudah jenuh dengan keramaian Yogyakarta, juga dikarenakan pada bulan itu bertepatan dengan musim panen di Desa Seseh. Jadi sekalian membantu hasil kebun di perkebunan orang tua salah seorang teman.
Setelah hari pertama dan kedua kami sibuk memanen kopi, pada hari ketiga Misteri dan rombongan merencanakn kembali ke Yogyakarta. Sebelum pulang, pada pagi harinya kami berkeinginan melakukan pendakian ke puncak Gunung Watu. Selain dikarenakan keindahan pemandangannya, juga karena banyaknya cerita mistis yang beredar di seputar Gunung Watu. Hal inilah yang membuat Misteri penasaran untuk membuktikan kebenarannya.
Dengan persiapan seadanya, kami berangkat menuju puncak Gunung Watu. Menjelang puncak bukit, kami singgah di pondok milik Hijib Wahyudi, 23 tahun, yang memiliki sedikit kelebihan supranatural, sekaligus memintanya menjadi pemandu. Kebetulan Hijib sedang tidak berkebun.
Sepuluh menit perjalanan, kami sudah di Gunung Watu. Sebelum melihat-lihat keadaan sekitar, Hijib Wahyudi mengajak rombongan untuk berziarah ke makam Mbah Setro Pati, penghuni pertama Desa Seseh. Menurut sejarah, tokoh ini dulunya adalah seorang Senopati Perang beragam Islam yang berasal dari Keraton Surakarta. Dikarenakan keadaan kerajaan yang kacau balau, Mbah Setro Pati memilih mengasingkan diri menyingkir dari kerajaan dan mengembara ke arah barat utara. Hingga akhirnya sampailah dia di hutan belantara yang sekarang dikenal dengan nama Desa Seseh.
Di tempat ini Mbah Setro Pati melakukan babad alas, yang dalam prosesnya banyak mengalami gangguan dari makhluk halus. Makhluk halus itu dipimpin oleh rajanya yang berwujud siluman ular naga bernama Naga Pratala.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Mbah Setro Pati berhasil memenangkan pertarungan dengan raja siluman penguasa hutan tersebut. Akhirnya, Naga Pratala dan rakyatnya takluk dan mengabdi kepada Mbah Setro Pati.
Semakin lama, semakin banyak pendatang yang ikut tinggal di Desa Seseh, sehingga menjadikan desa tersebut ramai. Kepada penduduk sekitar, Mbah Setro Pati mengajarkan agama Islam dan seni bercocok tanam. Setelah usia lanjut, dia wafat dan dimakamkan di atas Gunung Watu. Konon, Mbah Setro Pati tetap mengawasi penduduk Desa Seseh dari alam gaib Gunung Watu.
Sumber lain menyebutkan, Mbah Setro Pati wafat setelah bertarung hebat dengan Mbah Demang penguasa Desa Srumbung, desa tetangga. Hingga sejak saat itu dipercaya bila antara kedua desa tersebut ada warganya yang melangsungkan pernikahan antara desa, maka akan mengalami perceraian.
Menurut warga sekitar, pada malam-malam tertentu, sering terlihat cahaya kuning kemerahan muncul dari aera makam Mbah Setra Pati. Sugiyanto Tukul, 22 tahun penduduk setempat, memberi kesaksian, ketika dirinya sendang mencari rumput di sawah dari arah makam Mbah Setro Pati muncul cahaya kuning menuju langit, disusul datangnya cahaya merah dari Desa Srumbung. Kedua cahaya tersebut terlihat bertabrakan di angkasa. Melihat peristiwa tersebut, dirinya bergegas pulang ke rumah.
Informasi yang Misteri peroleh dari Hijib Wahyudi, walaupun kedua tokoh sakti tersebut telah wafat, tetapi ilmu mereka masih bertempur di alam gaib hingga saat ini. Konon, hal itulah yang sering terlihat  oleh warga sekitar berupa penampakan cahaya merah dan kuning yang bertabrakan di angkasa.
Hari itum, ketika perjalanan kami sampai di makam Mbah Setro Pati yang kondisinya kurang begitu terawat, aura mistis mulai menyengat. Misteri beserta rombongan dipimpin oleh Hijib langsung mengadakan kontemplasi. Sesaat aura mistis terasa mengental. Namun sayang, rupanya Mbah Setro Pati belumkepareng untuk hadir di hadapan kami, yang tampak hanyalah kabut putih pekat.
Penerawangan lalu kami alihkan pada gundukan tanah di samping makam. Dalam alam batin terlihat, suatu ruangan besar bergaya Jawa Kuno, dengan peti berukir di tengah ruangan yang berisi beberapa benda pusaka yang dahulu menjadi piandel Mbah Setro Pati. Ada juga puluhan batu akik yang ikut manggon di tempat tersebut. Juga terlihat Qur’an Stambul dengan khodam lelaki bersorban putih yang menurut penerawangan berkaromah untuk kekebalan, keselamatan, dan penyembuhan.
Pusaka berikutnya yang terlihat adalah Pecut Kencono, dengan khodam lelaki gagah berpakaian Warok Ponorogo. Sedangkan benda lainnya berwujud keris luk tujuh berkhodam lelaki berpakaian Jawa dengan penampakan agak samar.
Setelah bersopan santun dengan para wulucumbu Mbah Setro Pati, uluk salam pamit kami ucapkan. Wujud fisik Mbah Setro Pati sendiri, kami ketahui dari kemampuan gaib Hijib yiatu berupa seorang lelaki tua berpakaian pendekar silat dengan baju dan celana hitam serta mengenakan ikat wulung di kepalanya. Sayang kami gagal berdialog dengannya.
Perjalanan kami lanjutkan ke suatu tempat yang bernam Watu Gunung yaitu sebuah batu hitam besar seukuran mobil truk, terletak kurang lebih 30 meter dari lokasi makam Mbah Setro Pati. Dari atas Watu Gunung, kami menikmati keindahan alam pagi Desa Seseh dengan sempurna.
Entah kenapa, tiba-tiba Misteri merasakan undangan yang kuat dari gaib tempat tersebut. Akhirnya, berdua ditemani Hijib, Misteri melakukan kontemplasi. Hadiah bacaan surat Al-Fatihah kami haturkan kepada gaib tempat tersebut.
Sesaat gelap, cahaya putih menerpa kening penulis. Lalu terlihat sebuah bangunan kuno yang seni arsitekturnya bergaya Jawa Kuno dan agak lebih kecil dibandingkan bangunan gaib yang terdapat di makam Mbah Setro Pati.
Uluk salam pun dihaturkan. Di hadapan Penulis kini berdiri sesosok macan putih, yang penampakannya sedikit demi sedikit berubah menjadi lelaki tua gagah, berpakaian ala pendekar silat, dengan baju hitam tanpa kancing dan celana komprang hitam setinggi betis.
“Ada keperluan apa cucu berdua datang ke sini?” sapa sosok itu, ramah.
Kami pun memperkenalkan diri serta mengemukakan maksud tujuan kami.
“Isun, Ki Macan Putih. Isun terkesan melihat cucu berdua datang ke tempat ini, dengan penuh kesopanan.”
Matur nuwun, Ki. Sudah merupakan seharusnya kami yang lebih muda untuk menghormati para sesepuh di sini!” jawab Hijib, takzim.
“Mohon maaf, Ki. bila Aki berkanan, siapakah sejatinya Aki?” sambung Misteri minta penjelasan.
“Isun adalah salah satu makhluk Allah, yang bertugas menjaga kelestarian alam sekitar Gunung Watu, di bawah pengawasan Kanjeng Gusti Setro Pati. Anak buah isun, meliputi wadya bala makhluk halus daerah wilayah ini. Isun sedih, melihat bayak penebang liar yang semena-mena merusak hutan, hingga menjadi terganggu keseimbangannya.”
Sejenak Ki Macan Putih tampak menarik nafas, dan raut mukanya terlihat sedih.
“Tolong cucu berdua sampaikan pada mereka, bila tidak berhenti merusak alam, jangan salahkan kalau kami memberikan hukuman dengan cara kami. Tunggulah saatnya, bencana besar sebentar lagi akan melanda negeri. Segeralah bertobat, eling lan waspada!”
Selesai memberi wejangan, sosok Ki Macan Putih kembali menjadi seekor macan. Disertai auman dahsyat, dia kemudian menghilang. Misteri pun tersentak dan kembali menyatu dengan alam dimensi nyata. Setelah itu, kami mengucap salam perpisahan dan mengakhiri kontemplasi.
Setelah menikmati pemandangan alam, perjalanan kami sudahi. Karena matahari semakin tinggi.
Di tengah perjalanan pulang dari Temanggung menuju Yogyakarta, Misteri banyak merenung, teringat petuah Ki Macan Putih. Alam telah jenuh dengan tingkah manusia, dan saatnya alam menunjukkan kekuatannya.
Kapan saat itu tiba? Mungkin semuanya telah terwujud dengan bencana yang melanda di berbagai belahan bumi Nusantara? Misteri bergidik ngeri mengingat hal tersebut. Sungguh, perjalanan yang begitu terkesan.
Dimuat di Majalah Misteri edisi 373 05 Mei 2005- 19 Mei 2005

KUMPULAN CERITA MISTERI


Cincin Pemberian Genderuwo (Oleh : Bayu Indrayanto)


Selama ini Tomi tak menyangka kalau rumah tua yang dilewatinya tiap malam sepulang kerja ternyata merupakan rumah angker yang menyimpan beribu misteri. Peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu merupakan pengalaman yang tak bisa dihilangkan dari ingatannya hingga hari ini.

Sebagai pegawai pabrik sablon, bagi Tomi dan kawan-kawannya sudah bukan merupakan hal yang aneh kalau tiap hari harus kerja lembur mengerjakan pesanan dari perusahaan tempatnya bekerja. Tak jarang ia baru bisa menyelesaikan pekerjaannya hingga tengah malam dan setelah itu pulang ke rumah yang jaraknya lumayan jauh.
Seperti hari itu. Tomi diminta lembur oleh bosnya karena sedang banyak pekerjaan. Dengan senang hati Tomi mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa tersa hari menjelng tengah malam. Tomi berhasil menyelesaikan pekerjaaanya dan bergegas pulang setelah memasukkan semua pesanan untuk besok ke dalam bungkusan. Dikayuhnya sepeda tua peninggalan orang tuanya dengan pelan.
Sepanjang jalan yang dilewatinya terasa gelap, rupanya listrik di daerah tersebut padam. Dengan pelan sepeda tua tersebut berjalan menembus kegelapan malam. Sebetulnya hati Tomi sudah merasa tidak enak. Jalanan yang gelap ditambah suasana jalan yang sepi membuatnya miris. Tetapi rasa lelah karena seharian bekerja membuat tekadnya untuk pulang dan segera tidur semakin kuat.
Tiba di tikungan, Tomi tanpa sengaja melihat rumah tua yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Perasaannya menjadi tidak enak. Aneh mengapa hatiku berdebar-debar, gumam Tomi.
Seperti ada yang menyuruh, Tomi malah menghentikan sepedanya. Rasa takut yang mencekamnya membuat bulu kuduknya berdiri. Dengan kaki yang bertopang pada sandaran sepeda. Tomi mencoba memberanikan dirinya untuk menatap rumah tua yang ada di depannya. Jantungnya semakin berdebar-debar.
Apa aku lebih baik kembali dan tidur di gudang saja ya? tanya hati Tomi penuh rasa bimbang. Dia juga heran mengapa dirinya tidak segera beranjak dari tempat itu. Sebaliknya, kakinya justru melangkah mendekati rumah tua itu. Tomi merasakan ada kekuatan gaib yang menariknya untuk terus mendekat ke rumah itu.
Perasaan hatinya yang semakin kacau menjadi semakin tidak karuan waktu dilihatnya sesosok bayangan tampak berkelebat ke luar dari arah pintu pagar rumah kosong tersebut.
Dengan kaki yang gemetar karena ketakutan melihat bayangan tersebut. Tomi berusaha membalikkan sepedanya untuk berputar kembali.
Belum selesai ia  mengangkat roda sepedanya untuk berputar terdengan suara memanggilnya. “Mas…!” suara parau terdengar menyapanya.
Dengan memberanikan diri Tomi yang sudah bersiap-siap untuk mengambil langkah seribu menatap ke arah suara tersebut. Ternyata suara tersebut keluar dari seorang pria paroh baya berpakaian hitam dengan sarung membelit lehernya. Bayangan tersebut bergerak mendekatinya sambil mengarahkan lampu senter menyoroti Tomi beserta sepedanya.
Melihat sosok laki-laki beserta lampu senter yang menyorotinya, hati Tomi merasa lega. Bayangan yang dikiranya hantu tersebut ternyata merupakan manusia.
“Ada apa Pak?” kata Tomi balik bertanya.
Laki-laki bersarung tersebut tersenyum, sementara lampu senter di tangannya tampak digoyang-goyang. “Saya Basori, penjaga rumah tua ini,” laki-laki itu memperkenalkan dirinya pada Tomi. Tangan kanannya yang juga besar-besar memegang stang sepeda Tomi. “Kalau boleh saya ingin numpang sampai pohon beringin di pojok desa. Mau mengambil bekal makanan untuk menjaga di rumah tua ini.”
Tomi menatap heran tanda tak mengerti. “Saya tadi lupa membawa bekal. Ketinggalan di rumah” Basori meneruskan ucapannya yang terpotong.
“Boleh..boleh” Tomi langsung mengiyakan karena merasa gembira ada teman.
Tak lama kemudian Basori membonceng di sepeda Tomi. “Busyet. Berat banget ini orang,” kata Tomi dalam hati sambil tetap mengayuh sepedanya.
Di perjalanan lampu listrik yang padam tetap belum menyala. Tapi dengan adanya lampu senter yang dibawa Basori, jalanan yang gelap menjadi agak terang.
“Sudah, sini saja Mas,” Basori berkata kepada Tomi, ia menepuk bahu Tomi memberi isyarat agar berhenti. Tomi kemudian menghentikan sepeda.
“Rumah saya ada di balik gerumbulan pohon itu,” Basori menunjuk ke  arah pepohonan di balik tikungan jalan.
Tomi hanya bisa menatap gerumbulan pohon yang ada.
Basori kemudian memasukkan senternya pada saku jaket Tomi “Senternya buat Mas saja. Buat kenang- kenangan.”
Tomi hanya bisa mengucap terima kasih. Ditatapnya laki-laki paroh baya  bernama Basori yang melangkah melewati gerumbulan pohon yang ada. Tampak laki-laki itu menoleh. Namun wajah pria paroh baya itu kini berubah menjadi makhluk tinggi besar penuh bulu yang menutupi seluruh tubuhnya.
Tomi yang melihat hal tersebut hanya bisa berteriak minta tolong sambil mengayuh sepedanya sejauh mungkin. Sesampai di rumah diambilnya senter milik genderuwo yang mengaku bernama Basori tersebut dari sakunya. Senter itu ternyata telah berubah menjadi sebuah batu akik. Tomi sebetulnya merasa takut dan teringat akan genderuwo yang menakut-nakutinya sebelum ini. Tapi selanjutnya ia berpikir tentu batu akik ini bukan sembarangan karena milik genderuwo. Pasti mempunyai khasiat.
Keesokan harinya dipakainya cincin tersebut bekerja. Entah pengaruh cincin yang dipakainya atau bukan. Tumpukan kain yang akan disablonnya menjadi terasa ringan. Pekerjaan yang semestinya harus diselesaikannya dalam beberapa jam mampu diselesaikannya dalam setengah jam. Bahkan yang menakjubkan tumpukan bahan sablon dalam kaleng mampu diangkatnya hanya dengan satu tangan.
“Rupanya cincin ini benar-benar berkhasiat,” dengan bangga Tomi mengelus-elus cincin tersebut.
Ternyata khasiat cincin genderuwo bukan itu saja. Di warung Mbak Ira tempatnya makan siang kalau bekerja, cincin genderuwo itu juga mempunyai khasiat yang lain. Rina anak gadis Mbak Ira yang selama ini selalu cuek kalau digoda para pria, tiba-tiba menjadi genit pada Tomi. Dengan kerling mata yang nakal mengarah ke Tomi gadis itu tampak dengan sibuk meladeni Tomi makan. Selama ini jangankan melayani, menoleh saja ia tidak mau. Berkali-kali Tomi mengelus akiknya . Ia seolah-olah mendapat durian runtuh dengan memiliki cincin genderuwo tersebut. Bayangan tubuh Rina yang bahenol seakan-akan menari di benaknya. Ia sudah membayangkan malam ini akan meniduri tubuh Rina yang montok, daripada meniduri tubuh istrinya yang sudah mulai kendor .
Seminggu sudah Tomi memiliki cincin genderuwo tersebut. Di malam Jumat setelah capek setelah seharian bekerja Tomi terlelap di ruang tamu. Sementara istrinya tidur di kamar sendiri. Tanpa terasa semalam suntuk ia telah  tidur dengan nyenyaknya.  Paginya setelah bangun dengan  wajah sumringah sang istri menghidangkan kopi .
”Mas tadi malam lain lho. Kuat sekali. Aku sampai berkali-kali,” celoteh istri Tomi dengan genitnya.
Mendengar ucapan sang istri, Tomi merasa terkejut. Didesaknya sekali lagi istrinya. Kepalanya serasa berputar-putar manakala istrinya bercerita kalau semalam telah berhubungan badan dengan Tomi dan merasa puas sekali. Tidak biasanya Tomi menjadi begitu perkasa di ranjang.
“Genderuwo keparat!!!!” teriak Tomi setelah mendengar cerita tersebut. Sang istri hanya melongo tanda tak mengerti. Tomi mencaci maki membayangkan apa yang telah dilakukan genderuwo tersebut sewaktu ia tertidur dengan nyenyaknya. Dengan bergegas ia mengayunkan sepedanya ke rumah tua tempat ia bertemu genderuwo seminggu sebelumnya.
Dilemparkannya cincin tersebut ke arah rumah tua tersebut. Cincin yang terlempar itu langsung lenyap masuk kedalam halaman rumah kosong. Ternyata cincin genderuwo itu membawa korban. Si genderuwo pemilik cincin berubah bentuk menjadi Tomi dan menyetubuhi istrinya. Sebagai makhluk halus, genderuwo memang bisa berubah bentuk. Bagaimanapun juga genderuwo adalah setan.***
Dimuat di Majalah Misteri edisi 527


___________________________________________________-----_______________________________________

BERKELANA DI KOTA LELEMBUT (Oleh: Bayu Indrayanto)



Gunung Kawi yang terletak di sebelah barat Kota Malang di Jawa Timur selama ini terkenal dengan mitos pesugihannya. Makam keramat Eyang Jugo ini menjadi tempat persinggahan para peziarah yang datang dari berbagai kota di penjuru tanah air. Bahkan dari luar negeri banyak yang berziarah dan ngalap berkah di makam ulama yang konon merupakan pengikut Pangeran Diponegoro tersebut.
Selama ini orang mengenal Gunung Kawi sebagai tempat keramat yang cocok untuk menjalankan ritual yang berhubungan dengan masalah rezeki maupun usaha dan perdagangan. Sehingga tak heran kalau kebanyakan peziarah yang datang didominasi oleh para warga keturunan. Namun dibalik kekeramatan Gunung Kawi sebagai tempat wisata ziarah, ternyata terdapat hal lain yang merupakan misteri dari keunikan Gunung Kawi seperti pengalaman yang dialami oleh Murjiono dan teman-temannya dari kota Surabaya.
Waktu malam Jumat Legi merupakan malam yang menjadi puncak keramaian para peziarah yang datang di Gunung Kawi. Para peziarah sejak sore memadati kompleks pemakaman Eyang Jugo nampak silih berganti berdatangan dan berpindah tempat dari lokasi makam kemudian ke lokasi air keramat yang ada di belakang lokasi makam. Kemudian para peziarah tersebut juga hilir mudik di bawah pohon dewandaru yang merupakan pohon keramat di lokasi tersebut.
Demikian pula halnya dengan Murjiono dengan teman-temannya yang datang dari Surabaya. Mereka bertiga Yudi, Haryono serta Murjiono merupakan tiga sahabat yang berusaha dalam jual beli computer dan spare partnya. Haryono dan Yudi tiap malam Jumat Legi selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke Gunung Kawi. Lain dengan Murjiono, kedatangannya ke Gunung Kawi ini merupakan pertama kalinya. Lain dengan kedua temannya yang memang datang dengan niatan untuk berziarah, Murjiono datang dengan niat untuk refresing serta mencari hiburan. Selama ini ia selalu mendengar tentang Gunung Kawi selain terkenal mitos gaibnya tapi juga penuh dengan pendatang yang kebanyakan amoi-amoi cantik. Ini merupakan kesempatan untuk menikmati kehangatan Gunung Kawi begitu celotehnya waktu diajak oleh kedua temannya untuk berangkat.
Karena kesal menunggu kedua temannya yang masih harus antri untuk bisa datang di depan makam, Murjiono memutuskan untuk menunggu di luar makam. Ia kemudian berjalan menuju lokasi ciamsi yang terletak di depan bekas tempat peribadatan yang pernah terbakar. Sifat mata keranjangnya mulai timbul manakala melihat seorang gadis keturunan yang sibuk melakukan ciamsi untuk mengetahui peruntungan nasibnya.
Tanpa sadar ia pun ikut-ikutan melakukan ciamsi.
“Nomor 13,” ucap sang pemandu waktu melihat batang bambu Murjiono keluar.
Sang pemandu dari ritual ciamsi tersebut kemudian memberikan kertas bertuliskan ramalan tersebut dengan kening sedikit berkerut.
“Hati-hati, Mas. Dan perbanyak doa agar terhindar dari musibah,” ucapnya seraya memberikan kertas tersebut kepada Murjiono.
Sekilas Murjiono membaca kertas ciamsi tersebut. Waktu melihat kata-kata ramalan tersebut mulutnya tersenyum sinis. “Ada-ada saja.”
Kertas tulisan tersebut kemudian dibuangnya tanpa menghiraukan pandangan prihatin dari sang pemandu.
“Gara-gara ciamsi tadi aku kehilangan gadis yang aku buru,”omelnya pelan. Matanya berkeliaran mencari gadis yang dimaksud. Tak dihiraukannya kertas ciamsi yang bertuliskan “Hati-hati dalam melangkah. Petaka datang membayang. Perbanyak doa agar balak menjauh.”
Karena merasa kesal kehilangan buruannya Murijono kemudian kembali ke kompleks makam. Perjalanan yang jauh dari Surabaya membuatnya merasa mengantuk.
“Aku beristirahat dulu di bawah pohon itu saja,”  ia kemudian melangkah ke arah pendopo di samping makam tempat pohon dewandaru berada.
“Dasar kurang pekerjaan orang-orang ini,” gumannya waktu dilihatnya orang-orang yang duduk di bawah pohon tersebut. “Apa mungkin dengan kejatuhan ranting atau daun pohon ini terus rejeki akan lancar,” ia kembali mengomel melihat para peziarah yang khusuk di bawah pohon tersebut.
Di Gunung Kawi ada semacam kepercayaan mereka yang berziarah lalu bisa membawa buah, ranting ataupun daun yang terjatuh dari pohon peninggalan Eyang Jugo tersebut maka keberuntungannya akan berubah. Seperti halnya yang dialami seorang konglomerat, yang berubah menjadi kaya karena berhasil mendapatkan buah dewandaru.
Dengan sinis, Murjiono menggoyang-goyang pohon tersebut. “Lho jatuh semua daunnya,“ kata dia sambil tangannya menunjuk ke arah daun yang berguguran karena pohon tersebut diguncang-guncang dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba ulahnya berhenti manakala melihat pandangan mata marah dari mereka yang berziarah di bawah lokasi pohon tersebut.
“Wah bisa dipukuli orang banyak aku,” kekehnya tanpa menghiraukan pandangan marah dari mereka yang menatapnya. Ia kemudian duduk di serambi pendopo.
Setelah berapa lama ia merasa mengantuk dan tertidur. Dalam tidurnya tersebut, ia merasa dibangunkan oleh seseorang. Pundaknya diguncang-guncang. Spontan Murjiono membuka matanya, mulutnya tersenyum simpul waktu dilihatnya yang memegang pundaknya tersebut adalah amoi cantik yang ingin diajaknya kenalan waktu ciamsi tadi.
“Bangun, Mas,” tegur gadis itu pelan.
Belum sempat Murjiono menjawab gadis tadi menggamit tangannya. “Antarkan aku jalan-jalan,” ucapnya lagi.
Murjiono bergegas bangkit pandangan matanya terus tertuju pada gadis berkulit putih dan bertubuh montok yang ada di hadapannya.
Tanpa sadar ia mengiyakan gadis tersebut dan kemudian mengikutinya. Mereka berjalan menembus keramaian malam. Yang dilihatnya sekarang adalah bangunan-bangunan megah, entah kompleks pertokoan atau perbelanjaan yang penuh dengan para pengunjung yang hilir mudik. Namun yang mengherankan semua penghuni atau mereka yang ada, memakai pakaian Jawa kuno. Sementara di sepanjang jalan raya yang membentang lurus tampak mobil maupun kendaraan dengan berbagai merk berjalan melintas kesana kemari. Baik pengemudi maupun mereka yang berbelanja dan melintas memakai pakaian tradisonal. Yang perempuan berkebaya.  Ada juga yang memakai pakaian cina kuno mirip seperti gadis di sampingnya yang mengaku bernama Ling Ling.
“Berada dimana aku?” bisiknya kepada gadis tersebut .
“Di Gunung Kawi,” jawab sang gadis dengan manjanya.
Murjiono seolah terhipnotis dengan kecantikan gadis tersebut. Ia tidak memikirkan hal-hal yang dirasanya aneh tersebut. Dalam benaknya, kota yang besar dan segala fasilitas layaknya Jakarta tersebut memang sudah ada di Gunung Kawi.
.“Ke kafe yuk,” ajak gadis tersebut ke sebuah tempat penuh dengan lampu warna-warni serta suara musik yang hingar bingar.
Ia kemudian melangkah bersama Ling Ling arah kafe yang dimaksud. Di dalam kafe tersebut ia kemudian mengikuti gerakan Ling-ling yang mulai bergoyang mengikuti irama musik yang ada. Lama mereka bergoyang sambil sesekali berpelukan.
Namun tiba-tiba terdengar suara dengusan marah disampingnya. “Dia adalah manusia, bukan dari golongan kita!”
Seorang berbadan tinggi besar berpakaian prajurit dengan membawa tombak yang terhunus kelihatan menunjuk ke arah Murjiono. Namun Murjiono hanya diam terpaku. Ia baru menjerit dan melepaskan pegangan tangannya waktu dilihatnya tubuh mulus Ling Ling yang dipeluknya berubah menjadi bersisik seperti kulit ikan. Matanya melotot seperti mata ikan koki.
Namun ia kembali terdiam manakala orang bertinggi besar yang meneriakinya tadi menyuruh anak buah yang di belakangnya untuk meringkus Murjiono.
Murjiono tak berkutik, manakala ia diseret oleh ketiga orang tersebut. Jalan raya yang tadinya penuh dengan orang-orang hilir mudik, kini penuh dengan berbagai makhluk yang berpenampilan aneh. Ada yang bermata satu, ada juga yang bertanduk. Bahkan ada perempuan berkepala manusia tapi bertubuh kuda. Makhluk-makhluk yang berkeliaran tersebut semakin aneh, sebab ada yang naik mobil. Bahkan ada berjualan di kakilima dengan fissik mereka yang aneh.
Murjiono ketakutan melihat hal tersebut. Ia kemudian dibawa menghadap ke arah sebuah bangunan besar yang menyerupai  istana. Lalu ia dihadapkan kepada seseorang yang berpakaian mirip raja, namun berbentuk aneh. Kepalanya bertanduk dua, sementara mulutnya penuh dengan taring runcing.
Ia kemudian diseret, setelah orang yang dipanggil raja tersebut memutuskan hukuman. Murjiono di bawa ke penjara. Namun ia kembali menjerit-jerit ketakutan manakala melihat pemandangan aneh dari penjara tersebut. Tampak anggota tubuh manusia yang bergelantungan karena dipotong tangannya, kakinya, bahkan kepalanya. Tubuh yang terpotong-potong itu bergoyang-goyang ketika terkena angin.
Murjiono semakin ketakutan manakala melihat sang algojo yang  berjalan menghampirinya sambil membawa golok. Bersiap-siap memotong-motong anggota tubuhnya. Selanjutnya Murjiono tidak ingat apa-apa lagi.
Tahu-tahu didengarnya suara seseorang. “Beruntunglah ia masih bisa ditolong,” ucap orang tua yang duduk di sampingnya.
“Dimana aku?” teriaknya waktu dilihatnya Yudi dan Haryono tampak duduk di sebelahnya.
Setelah berapa lama, orang tua tersebut menerangkan kepada Murjiono bahwa tingkah laku Murjiono yang iseng dengan menggoyang-goyang pohon dewandaru ternyata telah mengundang para lelembut yang ada di kawasan Gunung Kawi merasa terusik. Ia kemudian terbawa ke alam mereka. Ia dibawa jauh sampai ke puncak Gunung Kawi yang masih berupa hutan lebat dan merupakan pusat lelembut di Gunung Kawi. Beruntung tubuhnya yang tergolek lemah berhasil ditemukan pencari kayu. Dengan bantuan orang pintar nyawa Murjiono berhasil diselamatkan dari ancaman lelembut Gunung Kawi.
Dimuat MISTERI | Edisi 532 2012 |